Jumat, 14 September 2012

Dalam Untaian Doa


Dalam Untaian Doa
Kala semua harapan telah musnah pasti masih ada sebuah keajaiban  yang akan datang. Aku percaya di balik semua musibah pasti Tuhan akan mendatangkan berkah yang begitu indah. Tuhan tidak akan memberikan cobaan diluar batas kemampuan umatnya. Aku yakin tulisan pena-Nya akan begitu indah untuk akhir sebuah cerita perjalanan hidupku. Terkadang sebuah cerita tidak begitu mudah untuk dipahami atau hanya untuk sekedar dituliskan dengan pena. Pena itu sewaktu waktu akan berhenti menulis ketika tinta yang menjadi bagian darinya telah habis terkuras hanya untuk menulis demi berakhirnya sebuah cerita. Namun jika pena itu tetap terisi tinta cerita pun akan terselesaikan entah akan berakhir bahagia atau mungkin akan berakhir menyedihkan. Begitu juga dengan perjalanan hidup, kita diibaratkan seperti pena yang akan terus menulis begitu juga dengan tubuh kita yang akan terus menjalani kehidupan. Jalan berliku, badai menerjang, petir menggelegar mungkin fenomena itu akan hadir dalam kehidupan kita. Seperti pena yang harus terisi tinta agar tetap dapat menulis tubuh kita pun harus terisi dengan keimanan agar setiap cobaan dapat kita hadapi dengan tawakal. Meskipun jutaan orang tidak ada yang peduli dengan musibah yang kita hadapi namun percayalah masih ada Tuhan yang akan selalu menemani di setiap langkah kaki kita. Tergantung diri kita apakah akan berjalan di tempat yang gelap ataukah terang, seperti pena yang akan menuliskan cerita sedih ataukah bahagia. Setiap manusia dilahirkan pasti akan mempunyai masalah, tergantung cara kita memahami atau menyikapi masalah tersebut. Seperti permasalahan yang ku hadapi sekarang. Ayah yang di depanku selalu terlihat sehat bugar nan ceria suatu ketika harus mendapatkan musibah dari-Nya. Kesehatannya terganggu, usus buntu yang mengharuskan ia menerima tindakan medis yang membuat perutnya mendapatkan jaitan yang mungkin sampai saat ini masih terasa sakit. Awalnya aku mengira kesehatannya akan baik-baik saja setelah ia ditangani tim dokter dan melakukan operasi. Hari pertama setelah operasi aku datang ke rumahsakit untuk melihat bagaimana keadaannya. Saat aku mulai membuka pintu kamar rumahsakit dan perlahan aku membuka tirai yang menutupi tempat tidurnya, perlahan aku mulai menemukan sesosok lelaki berperawakan tinggi, kulitnya hitam tanpa mengenakan baju sehelai pun hanya diselimuti kain yang akan membuat tubuhnya terasa hangat, rambutnya yang mulai beruban seakan akan menandakan usianya yang sudah hampir tua, bola matanya yang bulat seketika melihat kearahku ketika ia menyadari bahwa salah satu anaknya datang menjenguknya. Pada saat itu kulihat tatapan matanya yang kosong, mukanya yang begitu pucat, dan kulihat di lubang hidung sebelah kiri terdapat selang yang terus mengalir cairan berwarna merah kecokelat-cokelatan. Dan ketika aku memegang tangan kanannya untuk memberikan salamku, aku melihat lagi selang infus di sekitar pergelangan tangan kanannya. Astagfirulloh seakan tak percaya dengan apa yang baru saja kulihat. Ingin rasanya aku pergi keluar ruangan itu hanya untuk sekedar menghapus airmata yang tak terasa menetes. Ayah, sosok lelaki yang selalu tampak sehat dan ceria di hadapan keluarganya, seorang kepala rumah tangga yang begitu bertanggung jawab dan bekerja keras untuk menghidupi keluarganya terutama untuk membiayai sekolahku kini lemah tak berdaya hanya bisa berbaring diatas kasur rumahsakit dengan banyaknya selang infusan yang menempel di tubuhnya. Tak tega aku melihatnya ingin sekali rasanya aku menanggung rasa sakit yang ia derita, seperti ia yang selalu mengerti akan anaknya ketika sedang menanggung beban. Ayah, selama ini tidak banyak kata yang terlontar dari mulutku untuk berbincang denganmu hanya untuk sekedar menanyakan bagaimana keadaanmu, atau mungkin untuk bercerita berbagi pengalaman denganku. Namun hal yang harus diketahui bahwa apapun yang orang katakan tentangmu, sejelek apapun kau dihadapan mereka tapi akulah orang pertama yang akan berdiri dan bertepuk tangan seraya menunjukkan kebanggaanku padamu. Aku percaya dibalik sikapmu yang cuek tersimpan seribu perhatian yang akan ada untuk kau limpahkan kepada semua anakmu. Sikapmu yang tegas berbanding terbalik dengan hatimu yang lembut. Kau bagaikan pelita yang akan terang di malam hari. Tak sanggup untukku kehilanganmu.
Tak lama aku memandangnya, aku pun segera menghampiri ibu yang dengan setia duduk disampingnya. Kulihat muka ibuku pucat, badannya yang kurus semakin kurus, terlihat katuk mata yang besar menandakan tidurnya yang kurang, betapa setianya ibu menjaga dan merawat ayah yang sedang berbaring tak berdaya. Setiap keringat yang keluar dari kulit ayah yang mulai menua diusapnya perlahan dengan penuh kasih sayang, terkadang aku melihat sesekali ibu membelai rambut ayah sembari mengucapkan doa meminta pertolongan kepada sang pemilik hidup. Pemandangan itu membuat aku semakin memahami apa arti sebuah keluarga. Keluarga adalah tempat berkeluh kesah, dengan mereka kita dapat berbagi banyak hal, bersama keluarga beban itu akan terasa ringan untuk dipikul, bersama keluarga kita akan merasakan hangatnya kebersamaan walaupun dengan kekurangan, aku bersyukur mempunyai ayah yang sangat bertanggung jawab dan seorang ibu yang begitu sabar menghadapi setiap cobaan yang aku yakin adalah ujian untuk menaikkan level keimanannya. Doa tak pernah berhenti terucap dari bibir ibu untuk kesembuhan ayah. Dalam setiap sujud mungkin hatinya menangis namun airmata sekuat tenaga ia bendung, tak ingin ia menangis di hadapan ayah karena baginya menangis bukanlah jalan untuk menyelesaikan masalah. Sementara aku, aku hanyalah seorang wanita yang bisa dikatakan cengeng, aku tak dapat berbuat apa-apa, aku mungkin hanya seorang benalu dalam keluarga. Kedua kakakku sudah tidak bersekolah, kakak pertamaku laki-laki ia sudah bekerja tetapi belum menikah sedangkan kakak keduaku adalah perempuan sudah menikah dan mempunyai seorang anak perempuan yang begitu menggemaskan. Saat ini aku tinggal bersama ibu ayah dan kakak pertamaku, sedangkan kakakku yang sudah menikah ikut dengan suaminya. Keadaan ekonomi keluargaku bisa dikatakan pas-pasan, tinggal di rumah sederhana yang berada di dalam sebuah gang kecil menandakan aku bukan berasal dari kalangan atas. Namun aku mempunyai keinginan untuk dapat membahagiakan keluargaku, aku ingin orangtuaku dapat hidup bahagia di hari tuanya. Tidak lagi harus bekerjakeras untuk mendapatkan uang, tidak lagi memikirkan esok akan makan apa, bagaimana jika anak-anaknya sakit, belum lagi memikirkan biaya kuliahku yang kurasa itu yang menjadikan beban untuk ayah. Di usianya yang sudah berumur ayah masih saja harus tetap bekerja demi membiayai kuliahku, terkadang aku merasa sedih dan merasa berdosa bila melihat ayah banting tulang bekerja untuk kebutuhan keluarga dan kebutuhanku juga. Mungkin aku hanya benalu untuknya, aku belum bisa memberikan balas budi untuk kedua orangtuaku. Entah sampai kapan aku akan hidup hanya menjadi benalu seperti ini, kuliahku masih panjang masih tersisa 3 atau bahkan mungkin 4 tahun lagi, sementara ibu dan ayah sudah mulai sakit-sakitan. Meskipun kedua kakakku sudah bekerja tapi aku tidak ingin membebaninya. Hmmm sedikit aku merenung tentang kehidupan keluargaku membuat airmata seperti ingin keluar dari persembunyiannya.
Tak lama aku dirumahsakit akhirnya aku memutuskan untuk pulang, sesampainya di rumah aku melihat keadaan ruang tamu terdapat 2 orang laki-laki sedang berbincang dengan serius. Kepala yang tertunduk lesu, menandakan persoalan yang begitu besar sedang ia hadapi. Laki-laki itu adalah kakak pertamaku sedangkan yang lainnya adalah kakak iparku. Aku sedikit mendengar perbincangan mereka sebelum aku memasuki kamar, bukan hal lain yang mereka perbincangkan selain tentang bagaimana keadaan ayah. Biaya rumahsakit yang ternyata begitu besar setelah ayah melakukan operasi adalah topik utama perbincangan mereka. Biaya rumahsakit hingga puluhan juta membuat aku berpikir juga darimana bisa mendapatkan uang sebanyak itu, sedangkan keluargaku sendiri tidak mempunyai cukup uang untuk biaya rumahsakit. Didalam kamar otakku berputar memikirkan jalan keluarnya sementara airmata terus mengalir. Aku menyadari bahwa menangis tidak akan menemukan jalan keluar untuk permasalahan ini. Tak henti-hentinya aku berdoa memohon pertolongan kepada yang maha kuasa. Aku yakin ia telah menyiapkan sebuah hadiah di akhir cobaan ini. Doaku terus mengalir dalam setiap sujudku menyembah-Nya, ayat suci aku kumandangkan, aku hanya bisa berserah diri memohon bantuan-Nya karena aku yakin Tuhan akan ada bersama orang-orang yang percaya akan kekuasaannya. Tuhan tidak akan meninggalkan umatnya, dan aku yakin berkah darinya akan lebih besar dibanding musibah yang diberikannya kepada keluargaku. Dan aku akan selalu berdoa semoga ayah lekas sembuh, ibu selalu diberikan kekuatan dan kesabaran dalam menghadapi cobaan ini, kakak dapat tidur dengan nyenyak meskipun dalam otaknya aku yakin tersimpan berbagai macam solusi yang ia pikirkan untuk permasalahan ini, dan aku? Aku berusaha untuk tidak lagi menjadi benalu yang selalu membebani induknya.

1 komentar:

  1. Borgata Hotel Casino & Spa - Dr. Maryland
    The Borgata Hotel Casino & Spa is a premier Atlantic City 익산 출장안마 resort located on 구미 출장안마 the 성남 출장샵 waterfront. The property features 평택 출장마사지 3,000 square feet 제주도 출장마사지 of casino

    BalasHapus